Ketapel, Dua Jalan Satu Arah
Ketapel,
Dua Jalan Satu Arah
Sore itu kami bertemu di sebuah gundukan tanah berbatu,
torehan seni patung abstrak berbentuk bulatan dengan batang melengkung spiral,
hingga tentunya menimbulkan banyak pengartian tentang bentuk patung tersebut.
Senja di ufuk kanan kami menambah kuning sayu matahari sore, terlihat serangga
yang beterbangan rendah dan suara gemericik air jatuh dari dedaunan setelah 2
jam lalu hujan. Aku beranjak menyodorkan coklat manis hangat yang kubeli di
Gerbang depan sebelum masuk kedalam taman kota ini.
“ Bagaimana reportase tadi pagi Na?” tanyaku
sambil menyodorkan coklat padanaya.
“ Seperti biasa, berebut kerumunan dengan reporter
lain, selalu sukses karena tulisanku memang sudah ditargetkan masuk kolom
utama” sahutnya sambil tersenyum kecil.
“ Organisasi kampusmu dulu memang membawa banyak
berkah ya sekarang..“ lanjutku menyambut jawabannya. Ana dulu belajar sebagai
mahasiswa sastra yang mengikuti pers kampus yang waktu itu produk buletinnya
menjadi salah satu bacaan favorit mahasiswa di kampus kami. Ia dulu semapat menjadi pimpinan Redaksi di
persma tersebut. Hingga sekarang, profesinya di dunia pers ia lanjutkan menjadi
seorang reporter Koran yang sukses dan dikenal oleh khalayak umum. Berbeda
dengannya, aku dulu belajar arsitek sambil menggeluti dunia politik kampus yang
sampai saat ini kegiatan serupa itu masih aku bawa sebagai pekerjaanku.
“ Banyak yang aku dapati di dunia nyata, tak
seperti di kampus dulu.. kamu, tak akan pernah berubah, menekuni hal-hal berbau
kekuasaan” ujarnya kembali.
“ itu passing-ku Na, mungkin aku lebih cocok
dibidang ini, aku bertekad membangun masyarakat kota kecil ini ” kataku pelan.
“ iyakah? Bukankah kau pernah bilang akan
membangun kota ini dengan gedung-gedung tinggi modern, rumah-rumah megah waktu
kau masih belajar arsitek dulu?” sahutnya meninggi.
“ ini jalan hidupku, aku banyak tahu bahwa
kepemimpinan yang tepat lebih baik daripada gedung yang megah itu” sahutku.
“iyakah? Pejabat bukan pemimpin! Mereka hanya
sekedar membuat kepentingan yang berkaitan dengan dirinya sendiri” Ana menyahut
denagn suara yang agak tinggi.
Keluarga Ana adalah salah satu korban program transmigrasi
untuk pembuatan bendungan di daerah kami. Namun sayangnya, ada konflik
perebutan sertifikat tanah yang tidak jelas waktu itu dengan pejabat setempat,
keluarganya harus menerima kekalahan atas persidangan kepemilikan tanah dan
petak sawah miliknya sehingga ganti rugi atas proyek jalan tol tersebut tak
mereka dapatkan. Ana terpaksa harus Drop Out waktu itu ketika ia menjelang
skripsi. Itulah yang membuat Ana dan keluarganya seolah-olah dendam dengan
pemerintah.
“ Na, tak selamanya yang buruk itu selalu buruk..
sebenarnya aku membawa maksud untuk bertemu denganmu kali ini..”
“Akupun tak ingin juga selalu seperti ini, namun
kenangan pahit tal mudah juga dilupakan begitu saja. aku juga membawa maksud
bertemu denganmu.. besok, pihak koranku berniat mengadakan wawancara denganmu
terkait kasus korupsi proyek jalan tol itu, publik akan tau betapa uang
membutakan pejabat yang kelihatannya baik sekalipun”, ujarnya.
Sebulan yang lalu, aku bertemu dengan orang tua
Ana dirumahnya. Sikap mereka tak berbeda jauh dengan Ana yang membenci sosok
seorang pejabat. Mereka banyak bercerita tentang apa yang menimpa mereka
beberapa tahun lalu sehingga mereka harus memulai semuanya dari awal. Ayah ana
yang dulunya seorang juragan Beras yang sukses dengan sawah yang dimilikinya,
harus menjadi buruh tani sejak kejadian proyek bendungan terkutuk itu.
“Aku tak pernah terlibat kasus itu.. itu permainan
KPK, Na”, sahutku.
“Buktikan Saja besok.”, ujarnya kembali. Hingga
setengah jam kami terus berdebat sesuai peran nyata kami. Hingga tiba-tiba
seekor burung jatuh mengenai pundak kirinya. Burung itu tertembak sayap
kanannya hingga ia tak mampu terbang kembali. Perhatian kami pun beralih pada
burung itu, menurunkan suasana tegang yang seolah semakin mempercepat gelapnya
senja itu.
Aku berkata lirih, “Burung ini tak akan bisa
terbang dengan sayap kanan yang terluka ini, begitupun kita, bagaimana nasib
keluarga nantinya kita jika pun peran kita, mengejar idealisme yang
bertentangan setiap waktu”
Ana menitikkan air mata mendengarnya. Ya, lusa
kita akan menikah, dan kami pun tahu, bahwa ayah dan ibu Ana tak menginginkan
keluarganya menjadi pejabat. Aku pun bingung, ini amanahku sebagai anggota
legislatif, namun aku juga harus mengimbangi keluargaku, keluarga mertuaku yang
tak mengiginginkan statusku. Ah, sudahlah, jalani saja. Aku tahu betapa
bingungnya pikiranku ketika Ana tak disampingku yang bahkan membuat semuanya
menjadi kacau. Perjuangan bertahan akan tekanan mertua lebih aku pilih daripada
bertahan akan tekanan perasaanku sendiri. Hingga gelapnya malam, menyisakan air
mata yang menggenang dalam heningnya taman kota itu. Aku yakin, jalan yang kami
tempuh ini akan berujung satu jika nanti kami disatukan. Entah aku, atau aAna yang mengalah, Atau
tetap bermain peran nantinya.
. . .
Aku memang belum menceritakan
sesungguhnya tentang pekerjaanku kepada orang tua Ana. Orang tua Ana memang tak
cukup mengenal anggota legislatif di kota ini karena memang mereka baru pindah
ke kota ini 3 bulan yang lalu. Lagipula jarak antara rumahku dan rumah mereka
lumayan jauh, sekitar 45 menit jika ditempuh dengan kendaraan. Yang mereka
tahu, aku adalah teman kuliah Ana dulu yang sering mengantarkan Ana setiap saat
pulang kesorean dan kehabisan bis. Tentu saja mereka menganggapa aku dekat
dengan Ana, dulu aku seorang cupu kosan yang lugu.
“Nak Bramantyo lama sekali tidak pernah kelihatan,
bagaimana kabarnya sekarang? Sudah sukses ya nampaknya.” Kata ayah Ana ketika
aku mein kerumahnya. Tentu saja lama tak bertemu, semenjak Ana di D.O kami tak
tak pernah ketemu lagi hingga nasib mempertemukan kita dalam sebuah reportase
didepan gedung legislatif. Awalnya aku tak menyangka Ana akan menjadi seorang
reporter sungguhan. Dengan penampilannya yang muslimah, aneh sekali jika ia
akhirnya menjadi seorang wartawan.
“Sudah sejak saat itu ya pak, ketika waktu Ana
pulang dengan kuyup comberan”. Jawabku kepada pak Murti, ayah Ana dengan
menegnakan baju kotak-kotak berbatik khas jawa, dan peci hitamnya yang tegap
memunculkan kharisma wibawa layaknya bung Karno. Waktu itu Ana di lempar kodok
hijau oleh temannya sehingga kaget dan tersandung masuk got yang penuh dengan
air comberan. Yaah, terpaksa motor butut milikku harus kuyup air comberan waktu
mengantarkannya pulang. Selalu cerewet dan ngomel-ngomel karena memang tak
semestinya kami berboncengan karena belum diperbolehkan agama. Walaupun begitu,
kami tetap menjaga sikap agar tak menimbulkan banyak dosa.
Banyak
aku bicarakan dengan keluarga Ana, dari mulai keluarga masing-masing, pengalaman
bisnis, canda tawa, hingga pada akhirnya aku mengatakan maksudku untuk meminang
Ana dikemudian hari. Pekerjaanku tetap aku rahasiakan setelah tahu akan
background keluarga Ana.
Komentar
Posting Komentar